Anak Kecil
Ibu itu menangis terisak-isak di ruang tamu panti asuhan, menceritakan bagaimana buruk nasib yang baru saja dialaminya. Sang suami pergi begitu saja, mungkin untuk alasan yang tidak perlu ada, entah siapa yang harus dipersalahkan. Yang pasti dia meninggalkan beban tanggung jawab yang sangat besar, seorang bayi! “Sampai sekarang ibu itu tidak pernah kembali,” keterangan salah seorang petugas disana. Mungkin itu salah satu kisah yang menjadi keseharian di banyak panti asuhan. Panti Asuhan yang saya kunjungi itu memang menampung bayi dan anak-anak yang tidak dapat diurus orang tuanya yang kebanyakan merupakan orang tua tunggal. Anak-anak yang datang dari latar belakang hasil pergaulan bebas, pemaksaan kehendak atau alasan ekonomi.
Panti asuhan itu sendiri terletak di kawasan perumahan yang cukup besar di Jakarta Barat. Dulunya merupakan rumah tinggal yang disumbangkan seorang ibu yang entah seperti apa hatinya dibandingkan hati kita, merelakan salah satu rumahnya untuk dipakai menampung bahkan ia sendiri ikut mengurusi tempat itu. Rumah dengan luas bagunan sekitar 150m2, pada dasarnya dibagi menjadi beberapa ruangan. Ruang bayi, ruang balita, ruang tengah (ruang anak-anak), kamar petugas, dapur dan kamar mandi, setidak itu yang berhasil saya amati. Bayi2 yang masih beberapa minggu usianya ditempatkan di ruangan khusus. Tidak semua orang boleh masuk, termasuk saya. Bayi yang berumur antara 1-10 bulan ditempatkan di ruangan lainnya, dulu sepertinya merupakan kamar utama. Disana ada sekitar 12 box bayi saling berhimpitan satu sama lain, beberapa box diisi 2 sampai 3 anak. Tempat itu dijaga oleh 2-3 orang suster. Ada saja yang harus dilakukan mulai dari mengganti popok, menidurkan bayi yang rewel, memberikan susu, mengganti baju dan tentu menjaga mereka. Pada umumnya mereka memang tidak rewel, walau masih kecil mungkin mereka cukup sadar dengan keberadaannya, entahlah. Senang rasanya bisa membuat beberapa dari mereka tertawa. Tawa yang tulus yang mungkin dengan berjalannya waktu akan makin terkikis hilang … ah saya berusaha menghilangkan bayangan itu.
Ruangan lainnya adalah sebuah ruang tengah yang cukup besar. Ada sekitar 15 box tidur disalah satu sisi, masih saling berhimpit. Anak-anak yang sudah agak besar tidur disini. Ruangan ini juga menjadi ruang bermain dan ruang makan. Hari itu ada cukup banyak tamu yang datang, pada umumnya mereka datang sambil membawa sumbangan untuk membantu kebutuhan panti asuhan. Beberapa dari mereka tampaknya merupakan pengunjung rutin. Mereka umumnya disambut hangat anak-anak yang ada disana. Yang menarik hampir semua tamu laki-laki mereka panggil ‘papa’, sesuatu yang mengagetkan saya pada awalnya. Penasaran, tapi tidak sempat saya dikonfirmasikan. Mereka kadang cukup cerewet menceritakan apa saja yang terlitas dipikiran mereka.
Para staff sendiri, menurut saya adalah orang-orang yang luar biasa. Karena panti asuhan itu berada dibawah naungan gereja katolik, seorang suster mengepalai semua aktifitas disana. Ia adalah seorang ibu separuh baya berasal dari Lampung. Sepintas tampak sangat tegas dengan anak-anak disana, yang mungkin dibentuk karena pengalaman panjangnya berbakti disana. Konon pada awal terbetuknya panti asuhan ini, dia dan beberapa rekan sempat berjalan di pasar-pasar dan tempat-tempat umum lainnya untuk membantu anak-anak kecil yang tidak terurus dan membawanya ke panti asuhan tersebut. Dibawah suster kepala ini ada 25 petugas pembantu. Walaupun berada di bawah naungan gereja banyak dari mereka yang adalah muslim. Petugas inilah yang bertugas hampir 24 jam sehari terutama mengawasi para bayi. Sebuah kerja kemanusiaan yang luar biasa.
Satu hal lain entah bagaimana reaksi warga sekitar yang menurut nalar sehat mungkin terganggu dengan adanya sebuah panti asuhan dilingkungan pemukiman. Tapi setelah berjalan empat tahun semuanya tampak lancar-lancar saja. Yang pasti sebuah bangunan baru sedang dipersiapkan untuk merelokasi tempat lama.
Saya betul-betul merasa bahwa saya dan mungkin kebanyakan dari kita masih jauh lebih beruntung dibandingkan mereka (terlepas dari segal permasalah, yang mungkin sebtulnya hanya dibuat-buat). Sudah sepantasnya kita tidak memalingkan muka dari mereka, tapi justru menunjukan kasih, mereka memerlukan kita. Hidup memang tidak mudah, tapi hidup bisa menjadi jauh lebih baik justru dengan saling membantu. Dan untuk mereka yang mengabdikan hidup mereka untuk pelayanan sepenuhnya terhadap sesama, tidak ada selain rasa hormat dibanding kita yang justru sering bingung menyikapi tujuan hidup kita sendiri. Segala hal yang kita lakukan lakukan harusnya merupakan refleksi sebuah pelayan yang tidak berpusat pada kepentingan ego kita sendiri tapi untuk orang lain. Akan ku sisihkan sebagian rejeki ini, untuk membantu mereka.
To:)n